Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan telah menetapkan besaran tarif ojek online yang berlaku efekif pada 1 Mei 2019. Penetapan tersebut ternyata menimbulkan persoalan baru, di mana konsumen menganggap tarif yang telah diputuskan terlalu tinggi.
Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), Rumayya Batubara mengatakan, dari hasil survei yang dilakukan kepada 3.000 responden terdiri dari konsumen ojek online sebanyak 75 persen menolak adanya perubahan tarif. Rata-rata responden menjawab aturan tersebut membuat beban pengeluaran konsumen bertambah.
"Sebanyak 75 persen menolak, kami menanyakan kepada responden pengguna ojek online apakah Anda bersedia jika ada tambahan pengeluaran? Ada sebagian yang sama sekali tidak menerima dan ada yang mau menerima," katanya katanya salam diskusi dengan tema Aturan Main Industri Ojol Mencegah Perang Tarif, di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Dari 75 persen responden yang menolak perubahan tarif tersebut sebagian besar mereka berpendapatan menengah ke bawah. "Kami temukan juga bahwa 75 persen pengguna ojek online pendapatannya menengah ke bawah, kaum marjinal, dia lebih sensitif dalam perubahan harga," imbuhnya.
Rummaya yang juga sebagai Ekonom Universitas Airlangga ini mengatakan, rata-rata kesediaan konsumen mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek online khusus di Jabodetabek saja capai Rp 5.200 per hari. Sementara untuk non-Jabodetabek sebesar Rp 4.900 per hari.
"Pengeluaran memang kecil, per hari ada berapa rupiah, kalau dikalikan jumlah trip per hari dan jumlah penggunaan dalam sehari, ini lumayan memberatkan," katanya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
http://bit.ly/2EiYeFi
May 20, 2019 at 02:45PM from Berita Terkini, Kabar Terbaru Hari Ini Indonesia dan Dunia - Liputan6.com http://bit.ly/2EiYeFi
via IFTTT
No comments:
Post a Comment