Liputan6.com, Jakarta - Parlemen Eropa menyatakan "darurat iklim" dan menyerukan dibatasinya kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 derajat celsius. Selain itu parlemen juga menyerukan dicapainya "climate neutrality" atau kenaikan suhu nol derajat menjelang tahun 2050, dan meminta dukungan keuangan dari negara-negara anggota untuk menurunkan pemanasan bumi.
Isyarat simbolis ini mendesak diambilnya tindakan oleh Komisi Eropa, Badan Eksekutif Uni Eropa, dan akan menambah tekanan pada negara anggota untuk lebih banyak bertindak mengatasi perubahan iklim. Pernyataan itu disahkan dengan perbandingan suara 429 lawan 225 di Strasbourg, Perancis, markas parlemen Eropa itu. Demikian dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (29/11/2019).
Komisi Eropa kini ditugaskan untuk memastikan bahwa semua peraturan dan anggaran disesuaikan dengan tujuan untuk membatasi suhu bumi dibawah 35,7 derajat celsius.
Anggota parlemen Eropa meminta Komisi Eropa untuk mensyaratkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebanyak 55 persen menjelang tahun 2030. Selain itu juga meminta dan dicapainya "iklim netral" menjelang 2050, sebagai bagian "European Green Deal" atau perjanjian untuk "menghijaukan" Eropa.
Perjanjian itu adalah prioritas yang diumumkan oleh Presiden baru Komisi Eropa, Ursulla von der Leyen, dalam janji kampanyenya. Von der Leyen akan dilantik pada hari Minggu, dan ia berjanji akan meningkatkan investasi Eropa dalam "teknologi hijau."
Parlemen Eropa juga menyerukan kepada negara anggota untuk mengurangi emisi karbon dioksida dari dunia penerbangan dan perkapalan, karena apa yang terjadi sekarang tidak akan mengurangi emisi karbon yang diperlukan.
Ilmuwan Sudah Mengungkapkan Sebelumnya
11.000 ilmuwan dari seluruh dunia telah meluncurkan hasil penelitian yang mengatakan bahwa dunia ini sedang mengalami masa darurat terkait perubahan iklim atau pemanasan global.
Dilansir dari BBC, Rabu (6/11/2019), dalam studi yang berdasarkan data pengukuran selama 40 tahun terakhir juga menyampaikan bahwa pemerintah telah gagal menangani krisis lingkungan ini.
Selain itu, studi tersebut juga menyatakan bahwa dunia ini sedang menghadapi penderitaan yang besar.
Para ilmuwan mengatakan bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memberi peringatan perihal bahaya yang sedang mengancam.
Dirilis pada hari yang sama ketika data satelit menunjukkan bahwa bulan lalu tercatat sebagai Oktober dengan suhu terhangat, studi baru mengatakan bahwa hanya mengukur suhu permukaan global adalah cara yang tidak memadai untuk menangkap bahaya nyata dari dunia yang dilanda panas berlebih.
Maka dari itu, penulis dari studi tersebut memasukkan serangkaian data yang mereka yakini mewakili serangkaian tanda-tanda vital grafis dari perubahan iklim selama 40 tahun terakhir.
Indikator-indikator ini termasuk pertumbuhan populasi manusia dan hewan, produksi daging per kapita, kehilangan perlidungan dari pohon secara global, serta konsumsi bahan bakar fosil.
Beberapa kemajuan telah terlihat di beberapa bidang. Misalnya, energi terbarukan telah tumbuh secara signifikan, dengan konsumsi angin dan matahari meningkat 373% per dekade. Walaupun begitun angka tersebut masih 28 kali lebih kecil dari penggunaan bahan bakar fosil pada tahun 2018.
Secara keseluruhan, para peneliti mengatakan sebagian besar indikator tanda-tanda vital mereka berada di arah yang salah dan menambah keadaan iklim menjadi semakin darurat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
https://ift.tt/2DwBIYM
November 30, 2019 at 07:02AM from Berita Terkini, Kabar Terbaru Hari Ini Indonesia dan Dunia - Liputan6.com https://ift.tt/2DwBIYM
via IFTTT
No comments:
Post a Comment